Tuesday, July 15, 2014

Abstain

Di simpang jalan itu seorang pematung ulung terpesona pada pohon nangka besar berdaun rimbun. Berdiri kokoh di pinggir jalan, betapapun anggun, pohon itu sering luput dari perhatian orang-orang yang lalu lalang.
“Bagus sekali batangnya,” pikir si pematung. “Jika kupahat jadi patung, orang tak hanya memperhatikan tapi juga bisa memanfaatkanya sebagai tanda.”
Si Pematung pun bekerja. Ia potong seluruh cabang dan ranting, ia sisihkan bagian pokok setinggi orang dewasa. Lalu ia pahat pokok itu sampai terciptalah sebentuk tubuh. Perempuan telanjang. “siapapun yang lewat tak akan menyia-nyiakan lagi keindahan ini, “ kata si pematung sambil beranjak pergi.
Benar, Hampir semua orang yang datang dari ketiga arah menyempatkan diri berhenti sejenak untuk memandang kagum patung kayu itu. Tak terkecuali seorang pelukis yang sedang mencari pemandangan indah untuk dia pindahkan keatas kanvas.
“halus sekali patung ini,” Pelukis itu lantas menyapu seluruh permukaan kayu dengan warna kuning langsat dan menambahkan cat yang sesuai pada beberapa bagian tubuh. “kini ia lebih menyerupai manusia,” gumamnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa orang sampai terkecoh. Mereka kaget, kok ada perempuan telanjang di pinggir pertigaan. Itu melanggar norma susila. Setelah dilihat lebih seksama, mereka sadar itu bukan manusia. Tapi, “Mirip sekali, “ puji mereka. Seorang pengrajin satu dari yang terkecoh itu, lantas membebatkan Kemben pada dada dan membalutkan jarit  dari pinggang sampai betisnya. Patung itu jadi lebih tampak seperti perempuan dalam kewajaran. Makin dikagumi oleh siapa saja yang melihatnya.

***
Syahdan, pada suatu malam bulan purnama ada Dewa dari Khayangan sedang terbang rendah diwilayah itu. Ia pun terperanjat menyaksikan perempuan cantik berdiri seorang diri di malam sunyi. Dengan dada berdebar ia mendekat dan, “Ah, sialan, tertipu aku!” Pikirnya, jika ia bisa terkelabuhi, tentu banyak manusia dungu yang menganggap patung itu perempuan sungguhan. “kasihan patung ini. Ia tak bersalah, tetapi orang yang terkecoh akan memaki, meski akhirnya memuji.” Lantas muncul gagasan isengnya. Tepat pada tengah malam, ia tiupkan ruh ketubuh kayu itu
Esoknya, gegerlah seluruh desa. Orang-orang ramai membicarakan seorang perempuan tak dikenal yang duduk bersimpuh dan tersedu di pinggir pertigaan. Kabarnya beberapa orang telah bertanya: siapa namanya, dari mana asalnya: namun semua pertanyaan hanya ditanggapi dengan gelengan dan sedu-sedan. Warta tentang perempuan cantik tapi aneh itu pun segera menjalar sampai kemana-mana. Sampai pula ke telinga Si Pematung, Si Pelukis dan Si Pembatik
Karena penasaran ketiga seniman itu pun datang ke pertigaan tempat mereka dulu mendapati patung kayu. Mereka menyeruak di antara kerumunan orang. Begitu melihat perempuan dihadapanya, Si Pematung berkata, “Ia adalah jelmaan patung yang semula berdiri di sini.” tak sulit menyakinkan massa, sebab faktanya: patung yang dulu mereka kagumi kini tak ada, lalu mendadak ada seorang perempuan asing yang tak tahu nama dan asal usulnya. Banyak orang yang pernah melihat patung di tempat itu menyatakan persetujuan. “Benar, paras dan pakainya mirip dengan patung yang dulu.”
Orang-orang pun bertanya: siapa yang berhak mengambil perempuan itu sebagai keluarga? “Si Pematunglah yang berhak, karena ia yang mengubah batang nangka menjadi patung perempuan.” Di depan khalayak Si Pematung mengumumkan niatnya, akan menjadikan perempuan itu sebagai istri dan berjanji akan setia sampai mati.
Tapi terdengar suara lain, “mestinya yang lebih berhak itu adalah pelukis, karena dialah yang menjadikan patung itu benar-benar mirip manusia.” Penuh semangat Si pelukis pun berjanji akan menikahinya dan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Segera terujar pendapat yang beda, “memang benar Si pematung dan Si pelukis menjadikan pokok nangka itu mirip manusia, tapi mereka membiarkanya telanjang. Maka yang paling pantas menjadi suami perempuan itu adalah si Pembatik, karena dialah yang menjaga kehormatanya.” Merasa mendapat angin, Si pembatik tak menyiakan kesempatan. “sebelum kuberi kain batik, ia hanyalah patung berbentuk manusia tak beradab,” katanya. Dan ia berjanji akan menjadikan perempuan itu istri solehah yang berbahagia dunia-akhirat.
Ada juga pendapat bahwa yang paling berhak adalah Dewa yang memberinya nyawa. Ketiga seniman itu dinilai telah meninggalakan karya mereka, sampai sang Dewa menghidupkanya menjadi manusia, Tapi pendapat ini tak mendapat dukungan, sebab Dewa hanya patut disembah dan mustahil menikah dengan manusia. Akhirnya, orang-orang sepakat bertanya kepada si Perempuan, memberikan kebebasan padanya untuk menentukan pilihan.
***
Dalam versi aseli cerita ini, bagian dari Serat Anglingdarma, tak dinyatakan secara gamblang siapa akhirnya yang dipilih perempuan itu. Mungkin, maksudnya, kitalah yang harus merenungkan: “mengapa seseorang harus memilih” dan “apa yang telah mereka lakukan” sehingga layak dipilih.
Sebelumya, sebagai pohon nangka di Pinggir pertigaan, ia hidup subur dan tenang. Kini, sebagai manusia, yang tak mungkin hidup sendiri (terpisah dari manusia lain) ia berada dalam situasi harus memilih. Orang-orang yang ingin dipilih itu telah lebih dulu mengubah jadi dirinya. Membentuk dan mematut fisiknya, dan hendak mengarahkan kesadarannya: sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

Tindakan memilih hanya baik dilakukan jika si subyek dalam keadaan “menjadi diri sendiri” dan bebas menentukan pilihan. Artinya ia memang membutuhkan sesuatu dan yang dipilih musti sesuai dengan kebutuhan itu.  Penonjolan sederet predikat dan hamburan janji tentang masa depan jelas bukan bahan “obyektif” yang patut dijadikan pertimbangan pemilihan.
Saya bayangkan perempuan itu akhirnya “memilih untuk tidak memilih”. Ia hanya tersdu mengenang masa lalu ketika ia hidup tentram sebagai pohon nangka yang berdiri dengan rimbun dedaun.


Sitok Srengenge dalam Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil

No comments:

Post a Comment