Tuesday, April 16, 2013

Saya pernah Hidup Enam Tahun Di Pondok Pesantren

Sampai saat ini saya masih merasa ada yang salah dari pola pengasuhan Pesantren yang pernah saya rasakan. Alasan awal orang tua saya memasukan saya di sekolah tersebut adalah proteksi dari kenakalan remaja masa kini, metode hijrah ke kota lain dan tinggal di pondok (tempat yang memiliki akses terbatas untuk dunia luar) dipilih oleh orang tua saya. Kedua kakak saya juga merasakan hal yang sama, dan ketika mereka keluar orang tua saya tidak melihat ada masalah akhirnya saya mengikuti jejak mereka juga. 

Saat ini saya sudah lulus, melihat kembali bagaimana diri saya hidup tumbuh disanan membuat saya geli, saya merasa dibodohi dengan doktrin-doktrin yang memaksa individu melakukan sesuatu dengan imbalan dosa.  Padahal saya sendiri masih bingung dengan apa itu dosa, apa itu neraka. Singkat cerita kekecewaan saya cukup besar karena saya tidak diajarkan secara langsung bagaimana mencintai sesama manusia, bagaimana cara mencintai tuhan saya, apa itu keindahan dan masih banyak lagi. saya hanya mengingat bagaimana saya sering menjadi orang yang salah, dan definisi anak yang baik hanya anak yang mentaati peraturan. Terjadi satu penyimpangan maka peraturan baru muncul, saya tidak merasakan ada proses ada usaha dari pengasuh memahami motif yang menjadi alasan seseorang melakukanya. ya pola pengasuhan disana sayangnya masih bersifat koersif. Baru saja saya melihat profil pondok saya kembali, semakin maju, semakin banyak perubahan, besar harapan saya pola pikir struktur yang ada disana juga ikut berubah. Waktu yang dihabiskan bertahun-tahun sangat tepat untuk menjadi media sosialisasi, bertukar ilmu pengetahuan, bertukar cara pandang.

Masalah kekecewaan ini pernah saya utarakan kepada salah satu guru, beliau menyadari memang ada beberapa hal yang harus diperbaiki namun beliau juga mengatakan bahwa pondok tersebut adalah salah satu tempat dimana guru saya merasa diperlakukan seperti keluarga, ya saya setuju!
Apapun itu, bagaimanapun ocehan saya diatas, saya tetap cinta pondok saya ini. Bagaimana tidak? saya sudah hidup disana selama enam tahun. Setiap sudut yang ada di kompleks pesantren masih saya ingat, bahkan bila membayangkan bagaimana suasana keseharian saya disana bersama teman-teman tidak jarang saya menitikan air mata. Assalaam masih menjadi salah satu rumah saya, Tempat yang selalu saya inginkan untuk pulang. 
Assalaam tempat yang ambigu bagi saya, disatu sisi saya membenci disatu sisi saya mencintai.