Tuesday, September 18, 2012

Mimpi Dan Teman-Temanya


Selalu ada jarak antara mimpi dan realitas, entah mengapa kedua hal tersebut jarang bisa berdamai untuk mewujudkan kebahagian seseorang. Seorang komedian, Louies CK mempunyai perumpaan yang menarik mengenai mimpi dan realita, “kalian ingin tahu bagaimana hidup anda akan terlihat indah? Caranya adalah bermimpilah untuk mempunyai hidup yang jelek, payah dan menjijikan”. Komedian tersebut seakan menggambarkan cara sederhana untuk mendamaikan antara mimpi dan realitas. Ingin mempunyai mimpi yang indah maka abaikan realitas sebaliknya jika ingin mempunyai realitas yang yang indah maka jangan coba-coba bermimpi yang indah.
Mimpi mengandung imajinasi didalamnya. Imajinasi yang meluap-luap terkadang tidak melulu menguntungkan. Saya ingat perkataan seorang pengelana yang mana ia tidak menakutkan suatu apapun kecuali imajinasi. Ia rela menyendiri dalam keadaan semengerikan apapun tapi ia sangat takut ketika imajinasinya sendiri yang mulai merongrong dirinya. Mungkin secara sederhana saya artikan ini seperti pikiran-pikaran yang tidak perlu dipirkan oleh seseorang namun dipikirkan, semacam pikiran tidak penting, sempitnya lagi negative thinking.
Saya teringat pada suatu kisah yang pernah Sitok Srengenge ceritakan mengenai mimpi, doa serta harapan. Dalam bukunya ada sebuah kisah mengenai Gadis Kecil Penjaga Bintang yang dikisahkan oleh Wikan Satriati. Seorang gadis kecil meminta kepada ibunya untuk dijelaskan mengenai doa. sang bunda lantas menggandeng tangan sang gadis kecil ke tepi pantai untuk melihat perahu yang tengah melaju ke arah matahari terbenam. Sang ibu meminta sang gadis untuk memerhatikan perahu tersebut. Perahu yang sedang berjalan tersebut semakin lama terlihat semakin kecil dan kemudian semakin tidak terlihat dan akhirnya menghilang. Sang ibu lantas berkata “apakah kamu percaya, jika kukatakan bahwa perahu itu tidak lenyap?.” Gadis kecil mengangguk. Ia membayangkan ada sebuah pelabuhan besar tempat perahu-perahu tersebut berlabuh. Lantas bunda melanjutkan “begitulah yang terjadi pada doa (harapan juga mimpi), kamu bisa saja menganggap doa serta harapan yang dipanjatkan menguap sia-sia, namun sesungguhnya doa itu sampai pada tuhan.”[1]
Berbeda lagi dengan Seno Gumira Adjidarma. Mimpi dan realitas ia terjemahkan kedalam puisi yang begitu cantik, seakan saling tumpang tindih.
 
"Hidup akhirnya memang jalan terus. Namun, mimpi juga jalan terus. Ketika menatap jalanan, aku berpikir tentang soal-soal lain. Aku sering bermimpi tentang hidup. Aku hidup dengan mimpi-mimpi. Apakah hidup, apakah mimpi. Apakah tidur apakah mati. Kalau aku tidur tanpa mimpi,maka aku istirahat dari hidup dan mimpi. Kalau aku mati, aku juga istirahat dari hidup dan mimpi. Tidur seperti mati. Aku selalu ingin tidur seperti orang mati, karena aku capek hidup dan capek mimpi. Hidup ini seperti perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi aku belum mau mati."[2]
untuk saya sendiri bermimpi itu masih menjadi aktivitas paling mengasyikan. Terkadang saya menemukan tempat-tempat yang hanya bisa saya temui dalam mimpi. Otak saya memutar gambaran akan masa depan yang selalu saya buat indah dengan mata dan tangan yang saling gotong royong memasukan imajinasi-imajinasi baru yang sungguh melenakan. Berbicara realitas beda soal, Tentu saya masih menghargainya karena kedua hal tadi tidak bisa dipisahkan dan berdiri sendiri. Jujur realitas memang lebih sering saya ajak berdamai lantaran mimpi saya yang sering menclok kesana kemari. Dalam hal ini saya diajarkan untuk memaafkan diri saya sendiri, selanjutnya memulai lagi mimpi dan harapan baru dan dibangunkan dengan kenyataan lalu memaafkan diri lagi dan begitu seterusnya. Memang realitas sering digambarkan tidak mengenakan cenderung kejam namun saya tetap percaya cerita gadis kecil diatas. 





[1] Srengenge, Sitok. 2012. Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil. Jakarta: Rajut Publising.
[2] Ajidarma, Seno Gumira. Atas Nama Malam, Kumpulan Cerpen.