Menuliskan
semua-semua apa yang sedang saya rasakan seperti bukan diri saya. Apa mau
dikata, ingatan saya terbatas. Tidak mungkin semua-muanya bisa saya ingat dan
itu memang tidak perlu. Tetapi rasanya seperti saya kurang menyuskuri nikmat
serta karunia hidup pada era postmodern dimana teknologi sudah menjadi bagian
dari kehidupan, jadi saya memutuskan untuk menyimpan beberapa hal istimewa
dengan media blog ini.
Baik saya
akan menceritakan sebuah pengalaman saya ketika menonton film the hunt.
Sesungguhnya saya sedikit tidak setuju bagaimana saya menceritakan ulang
pengalaman tersebut karena review film itu sudah saya sepakati dengan diri saya
sendiri untuk tidak diterbitkan kedalam jurnal elektronik gratisan ini, kalau
resensi film yang saya tonton ditulis setiap hari saya hanya akan buat review.
Jika tidak ditulis hanya yang terpilih, saya merasa saya ini siapa kok berani
memilah milih mana film yang baik mana yang tidak, mengerti tentang film saja
tidak. Tetapi kali ini berbeda air mata saya habis, emosi saya tergojlok naik
turun.
Saya seperti
sedang dikerjai oleh sebuah film. Pada bagian pertama saya sudah terperangkap
untuk terlebih dahulu menempatkan posisi dimana saya berpihak. Bejalan durasi
kebagian tengah air mata saya habis bercucuran, keperkasaan yang selama ini
saya kontruksi untuk melawan hegemoni sedikit demi sedikit luntur. Saya mencoba
sebisa mungkin untuk tidak menangis, jika sudah menangis urusanya panjang, suka
susah berhentinya. Namun apalah daya, kontruksi memilih saya untuk menjadi
makhluk yang emosional. Beberapa kali saya menarik napas karena dikagetkan pada
beberapa adegan yang terlalu alami untuk tidak diperdulikan.
******
Perkenalkan
the hunt, film ini membuat saya sedih bukan karena kisah asmara atau roman yang
membuat banyak orang memimpikanya. Film ini mengambil hati penontonya karena
mengingatkan bahwa kebenaran tidak selamanya menjadi benar. Pandangan benar
sesungguhnya juga mengalami kontruksi, bagaimana benar adalah yang umumnya
terjadi. Mungkin film ini mewakilkan realitas yang sering ditampilkan media
ketika segolongan orang berteriak mengenai apa yang mereka yakini benar,
bersusah payah membuktikanya lalu hanya mendapatkan tanggapan apatis, tanggapan
yang mengeneralisasi, serta justufikasi berlebihan. Sebagai manusia merupakan
kewajiban untuk menggunakan akal fikiran serta nurani agar bisa mendekatkan
kepada hal yang benar. Namun film itu menampakan yang sebaliknya. Sebuah
penampakan yang sepertinya sangat deat dengan kehidupan sehari-hari. Dimana
makhluk semuanya tampak tak berakal dan memperlakukan sesamanya dengan cara
yang sangat jauh dengan nurani.
Manusia
dengan segala keterbatasanya tetap harus dipandang sebagai manusia. Kesalahan
apapun yang diperbuatnya seharusnya tidak membuatnya berubah menjadi makhluk
lain. Sekali lagi realitas tidak setuju dengan pendapat itu, manusia bisa
diperlakukan dengan keji bila dia melakukan hal yang juga keji. Jadi apa
perbedaanya si penjahat dan masyarakatnya? Toh mereka sama-sama berbuat keji.
Idealnya manusia bisa netral dalam melihat semua kenyataan, tapi tidak bisa
dipungkiri bahwa manusia sangat piawai dalam menilai. Dari kecil manusia sudah
diajarkan bahwa sesuatu yang salah itu buruk semua menghindari kesalahan yang
berbuat salah cenderung dikucilkan yang berbuat benar diagung-agungkan. Agama
juga banyak mengajarkan bagaimana hitung-hitungan dosa terkait baik dan buruk
dilakukan, otomatis manusia terbiasa menghitung dan menilai mana baik mana
buruk.
The hunt, sebuah cerita bagaimana sebuah kebohongan kecil bisa menjelma seperti kebenaran. Semua mempercayainya, semua mendukungnya tidak peduli bahwa ada tuhan, bukankah tugas menjustifikasi itu hanya miliknya?
The hunt, sebuah cerita bagaimana sebuah kebohongan kecil bisa menjelma seperti kebenaran. Semua mempercayainya, semua mendukungnya tidak peduli bahwa ada tuhan, bukankah tugas menjustifikasi itu hanya miliknya?
No comments:
Post a Comment