Selalu ada
jarak antara mimpi dan realitas, entah mengapa kedua hal tersebut jarang bisa
berdamai untuk mewujudkan kebahagian seseorang. Seorang komedian, Louies CK
mempunyai perumpaan yang menarik mengenai mimpi dan realita, “kalian ingin tahu bagaimana hidup anda akan
terlihat indah? Caranya adalah bermimpilah untuk mempunyai hidup yang jelek,
payah dan menjijikan”. Komedian tersebut seakan menggambarkan cara
sederhana untuk mendamaikan antara mimpi dan realitas. Ingin mempunyai mimpi
yang indah maka abaikan realitas sebaliknya jika ingin mempunyai realitas yang
yang indah maka jangan coba-coba bermimpi yang indah.
Mimpi
mengandung imajinasi didalamnya. Imajinasi yang meluap-luap terkadang tidak
melulu menguntungkan. Saya ingat perkataan seorang pengelana yang mana ia tidak
menakutkan suatu apapun kecuali imajinasi. Ia rela menyendiri dalam keadaan
semengerikan apapun tapi ia sangat takut ketika imajinasinya sendiri yang mulai
merongrong dirinya. Mungkin secara sederhana saya artikan ini seperti
pikiran-pikaran yang tidak perlu dipirkan oleh seseorang namun dipikirkan, semacam
pikiran tidak penting, sempitnya lagi negative
thinking.
Saya teringat
pada suatu kisah yang pernah Sitok Srengenge ceritakan mengenai mimpi, doa
serta harapan. Dalam bukunya ada sebuah kisah mengenai Gadis Kecil Penjaga Bintang yang dikisahkan oleh Wikan Satriati.
Seorang gadis kecil meminta kepada ibunya untuk dijelaskan mengenai doa. sang
bunda lantas menggandeng tangan sang gadis kecil ke tepi pantai untuk melihat
perahu yang tengah melaju ke arah matahari terbenam. Sang ibu meminta sang gadis
untuk memerhatikan perahu tersebut. Perahu yang sedang berjalan tersebut
semakin lama terlihat semakin kecil dan kemudian semakin tidak terlihat dan
akhirnya menghilang. Sang ibu lantas berkata “apakah kamu percaya, jika
kukatakan bahwa perahu itu tidak lenyap?.” Gadis kecil mengangguk. Ia
membayangkan ada sebuah pelabuhan besar tempat perahu-perahu tersebut berlabuh.
Lantas bunda melanjutkan “begitulah yang terjadi pada doa (harapan juga mimpi), kamu bisa saja menganggap doa serta harapan yang dipanjatkan menguap sia-sia,
namun sesungguhnya doa itu sampai pada tuhan.”[1]
Berbeda lagi
dengan Seno Gumira Adjidarma. Mimpi dan realitas ia terjemahkan kedalam puisi
yang begitu cantik, seakan saling tumpang tindih.
"Hidup akhirnya memang jalan terus. Namun, mimpi
juga jalan terus. Ketika menatap jalanan, aku berpikir tentang soal-soal lain.
Aku sering bermimpi tentang hidup. Aku hidup dengan mimpi-mimpi. Apakah hidup,
apakah mimpi. Apakah tidur apakah mati. Kalau aku tidur tanpa mimpi,maka aku istirahat dari hidup dan mimpi. Kalau
aku mati, aku juga istirahat dari hidup dan mimpi. Tidur seperti mati. Aku
selalu ingin tidur seperti orang mati, karena aku capek hidup dan capek mimpi.
Hidup ini seperti perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi aku belum mau mati."[2]
untuk saya
sendiri bermimpi itu masih menjadi aktivitas paling mengasyikan. Terkadang saya
menemukan tempat-tempat yang hanya bisa saya temui dalam mimpi. Otak saya
memutar gambaran akan masa depan yang selalu saya buat indah dengan mata dan
tangan yang saling gotong royong memasukan imajinasi-imajinasi baru yang
sungguh melenakan. Berbicara realitas beda soal, Tentu saya masih menghargainya
karena kedua hal tadi tidak bisa dipisahkan dan berdiri sendiri. Jujur realitas
memang lebih sering saya ajak berdamai lantaran mimpi saya yang sering menclok
kesana kemari. Dalam hal ini saya diajarkan untuk memaafkan diri saya sendiri,
selanjutnya memulai lagi mimpi dan harapan baru dan dibangunkan dengan
kenyataan lalu memaafkan diri lagi dan begitu seterusnya. Memang realitas
sering digambarkan tidak mengenakan cenderung kejam namun saya tetap percaya
cerita gadis kecil diatas.
No comments:
Post a Comment