Di simpang jalan itu seorang pematung
ulung terpesona pada pohon nangka besar berdaun rimbun. Berdiri kokoh di
pinggir jalan, betapapun anggun, pohon itu sering luput dari perhatian
orang-orang yang lalu lalang.
“Bagus sekali batangnya,” pikir si
pematung. “Jika kupahat jadi patung, orang tak hanya memperhatikan tapi juga
bisa memanfaatkanya sebagai tanda.”
Si Pematung pun bekerja. Ia potong
seluruh cabang dan ranting, ia sisihkan bagian pokok setinggi orang dewasa. Lalu
ia pahat pokok itu sampai terciptalah sebentuk tubuh. Perempuan telanjang. “siapapun
yang lewat tak akan menyia-nyiakan lagi keindahan ini, “ kata si pematung
sambil beranjak pergi.
Benar, Hampir semua orang yang datang
dari ketiga arah menyempatkan diri berhenti sejenak untuk memandang kagum
patung kayu itu. Tak terkecuali seorang pelukis yang sedang mencari pemandangan
indah untuk dia pindahkan keatas kanvas.
“halus sekali patung ini,” Pelukis itu
lantas menyapu seluruh permukaan kayu dengan warna kuning langsat dan
menambahkan cat yang sesuai pada beberapa bagian tubuh. “kini ia lebih
menyerupai manusia,” gumamnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa orang sampai terkecoh. Mereka
kaget, kok ada perempuan telanjang di pinggir pertigaan. Itu melanggar norma
susila. Setelah dilihat lebih seksama, mereka sadar itu bukan manusia. Tapi, “Mirip
sekali, “ puji mereka. Seorang pengrajin satu dari yang terkecoh itu, lantas
membebatkan Kemben pada dada dan
membalutkan jarit dari pinggang sampai betisnya. Patung itu
jadi lebih tampak seperti perempuan dalam kewajaran. Makin dikagumi oleh siapa
saja yang melihatnya.
***
Syahdan, pada suatu malam bulan
purnama ada Dewa dari Khayangan sedang terbang rendah diwilayah itu. Ia pun
terperanjat menyaksikan perempuan cantik berdiri seorang diri di malam sunyi. Dengan
dada berdebar ia mendekat dan, “Ah, sialan, tertipu aku!” Pikirnya, jika ia
bisa terkelabuhi, tentu banyak manusia dungu yang menganggap patung itu
perempuan sungguhan. “kasihan patung ini. Ia tak bersalah, tetapi orang yang
terkecoh akan memaki, meski akhirnya memuji.” Lantas muncul gagasan isengnya.
Tepat pada tengah malam, ia tiupkan ruh ketubuh kayu itu
Esoknya, gegerlah seluruh desa.
Orang-orang ramai membicarakan seorang perempuan tak dikenal yang duduk
bersimpuh dan tersedu di pinggir pertigaan. Kabarnya beberapa orang telah
bertanya: siapa namanya, dari mana asalnya: namun semua pertanyaan
hanya ditanggapi dengan gelengan dan sedu-sedan. Warta tentang perempuan cantik
tapi aneh itu pun segera menjalar sampai kemana-mana. Sampai pula ke telinga Si
Pematung, Si Pelukis dan Si Pembatik
Karena penasaran ketiga seniman itu
pun datang ke pertigaan tempat mereka dulu mendapati patung kayu. Mereka menyeruak
di antara kerumunan orang. Begitu melihat perempuan dihadapanya, Si Pematung
berkata, “Ia adalah jelmaan patung yang semula berdiri di sini.” tak sulit
menyakinkan massa, sebab faktanya: patung yang dulu mereka kagumi kini tak ada,
lalu mendadak ada seorang perempuan asing yang tak tahu nama dan asal usulnya.
Banyak orang yang pernah melihat patung di tempat itu menyatakan persetujuan. “Benar,
paras dan pakainya mirip dengan patung yang dulu.”
Orang-orang pun bertanya: siapa yang
berhak mengambil perempuan itu sebagai keluarga? “Si Pematunglah yang berhak,
karena ia yang mengubah batang nangka menjadi patung perempuan.” Di depan
khalayak Si Pematung mengumumkan niatnya, akan menjadikan perempuan itu sebagai
istri dan berjanji akan setia sampai mati.
Tapi terdengar suara lain, “mestinya
yang lebih berhak itu adalah pelukis, karena dialah yang menjadikan patung itu
benar-benar mirip manusia.” Penuh semangat Si pelukis pun berjanji akan
menikahinya dan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Segera terujar pendapat yang beda, “memang
benar Si pematung dan Si pelukis menjadikan pokok nangka itu mirip manusia,
tapi mereka membiarkanya telanjang. Maka yang paling pantas menjadi suami
perempuan itu adalah si Pembatik, karena dialah yang menjaga kehormatanya.” Merasa mendapat angin, Si pembatik tak
menyiakan kesempatan. “sebelum kuberi kain batik, ia hanyalah patung berbentuk
manusia tak beradab,” katanya. Dan ia berjanji akan menjadikan perempuan itu
istri solehah yang berbahagia dunia-akhirat.
Ada juga pendapat bahwa yang paling
berhak adalah Dewa yang memberinya nyawa. Ketiga seniman itu dinilai telah
meninggalakan karya mereka, sampai sang Dewa menghidupkanya menjadi manusia,
Tapi pendapat ini tak mendapat dukungan, sebab Dewa hanya patut disembah dan
mustahil menikah dengan manusia. Akhirnya, orang-orang sepakat bertanya kepada
si Perempuan, memberikan kebebasan padanya untuk menentukan pilihan.
***
Dalam versi aseli cerita ini, bagian
dari Serat Anglingdarma, tak
dinyatakan secara gamblang siapa akhirnya yang dipilih perempuan itu. Mungkin,
maksudnya, kitalah yang harus merenungkan: “mengapa seseorang harus memilih”
dan “apa yang telah mereka lakukan” sehingga layak dipilih.
Sebelumya, sebagai pohon nangka di
Pinggir pertigaan, ia hidup subur dan tenang. Kini, sebagai manusia, yang tak
mungkin hidup sendiri (terpisah dari manusia lain) ia berada dalam situasi
harus memilih. Orang-orang yang ingin
dipilih itu telah lebih dulu mengubah jadi dirinya. Membentuk dan mematut
fisiknya, dan hendak mengarahkan kesadarannya: sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Tindakan memilih hanya baik dilakukan
jika si subyek dalam keadaan “menjadi diri sendiri” dan bebas menentukan
pilihan. Artinya ia memang membutuhkan sesuatu dan yang dipilih musti sesuai
dengan kebutuhan itu. Penonjolan sederet
predikat dan hamburan janji tentang masa depan jelas bukan bahan “obyektif”
yang patut dijadikan pertimbangan pemilihan.
Saya bayangkan perempuan itu akhirnya “memilih
untuk tidak memilih”. Ia hanya tersdu mengenang masa lalu ketika ia hidup
tentram sebagai pohon nangka yang berdiri dengan rimbun dedaun.
Sitok Srengenge dalam
Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil
No comments:
Post a Comment